Halal Bi Halal Idulfitri 1446 H: Merajut Ukhuwah, Menguatkan Silaturahmi
Idulfitri bukan sekadar hari kemenangan setelah menunaikan ibadah puasa, tetapi juga momentum untuk memperbarui tali silaturahmi, mempererat persaudaraan, dan menyucikan hati. Di Indonesia, tradisi Halal Bi Halal menjadi bagian penting dalam perayaan Idulfitri yang mengakar kuat dalam budaya masyarakat, termasuk di lingkungan pendidikan.
Halal Bi Halal berasal dari dua kata bahasa Arab: "halal" yang berarti boleh atau diizinkan, dan pengulangan kata ini yang dalam konteks budaya Indonesia bermakna saling memaafkan. Tradisi ini mulai dikenal sejak masa Presiden Soekarno sebagai upaya mempererat persatuan bangsa pasca peristiwa politik yang memecah belah. Seiring waktu, Halal Bi Halal berkembang menjadi bagian dari kultur sosial yang kaya akan nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan.
Menurut catatan Nahdlatul Ulama (NU), Halal Bi Halal pertama kali dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah, salah satu tokoh pendiri NU, pada tahun 1948. Saat itu, Indonesia sedang berada dalam kondisi genting akibat konflik internal pasca-kemerdekaan. KH. Wahab mengusulkan istilah "Halal Bi Halal" kepada Presiden Soekarno sebagai cara mengajak para elite politik saling memaafkan dan berdamai dalam suasana Idulfitri. Sejak itulah istilah ini digunakan secara luas dan menjadi tradisi tahunan di berbagai lapisan masyarakat, termasuk organisasi keagamaan seperti NU. Tradisi ini dianggap sebagai bentuk kearifan lokal yang menyatukan unsur budaya, agama, dan nilai sosial kemasyarakatan.
Dalam konteks pendidikan, Halal Bi Halal mengajarkan kepada siswa dan seluruh warga sekolah pentingnya menjaga ukhuwah (persaudaraan) dan akhlak mulia. Momen ini dapat dijadikan sarana edukatif untuk memperkuat nilai-nilai karakter seperti empati, kejujuran, pemaafan, dan tanggung jawab sosial. Halal Bi Halal mendorong pembentukan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual.
Kegiatan ini dapat diisi dengan tausiyah, pembacaan doa bersama, serta momen saling memaafkan yang dilakukan secara simbolis maupun pribadi. Selain mempererat hubungan antarpersonal di sekolah, Halal Bi Halal juga menjadi ajang refleksi diri, memperbarui niat, dan memperkuat semangat kolaboratif dalam menjalani proses pembelajaran ke depan.
Dengan menjadikan Halal Bi Halal sebagai tradisi tahunan yang sarat makna, sekolah berperan aktif dalam membangun budaya damai dan saling menghormati di tengah keragaman. Inilah esensi pendidikan karakter yang sejati—berakar pada nilai-nilai luhur dan diwujudkan dalam tindakan nyata.
Referensi:
Zuhri, Saiful. (2018). Tradisi Halal Bihalal dalam Perspektif Budaya Islam di Indonesia. Jurnal Ilmu Dakwah dan Komunikasi, 12(2), 115-123.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta: Kemendikbud.
Nahdlatul Ulama Online. (2021). Sejarah Halal Bi Halal: Gagasan KH Wahab Chasbullah yang Menyatukan Bangsa. www.nu.or.id